Lompat ke isi utama

Berita

Refleksi Hari Kartini, Luli Barlini Ajak Perempuan Tingkatkan Partisipasi Politik

Di Indonesia, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Kartini adalah simbol kebangkitan perempuan Indonesia, dengan momentum Hari Kartini semoga kita bisa memberikan ruang lebih kepada perempuan untuk berkiprah dan turut serta membangun negeri. Luli Barlini, S.Sos., M.Si selaku Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Depok, mengajak kaum perempuan agar terus meningkatkan partisipasinya dalam kancah politik.

“Ayo kaum perempuan, tingkatkan terus partisipasimu di kancah politik. Jangan biarkan dirimu tertinggal. Sekarang eranya emansipatif, dimana peran perempuan tidak seperti dulu yang distigmakan sebagai makhluk yang tugasnya hanya di dapur, sumur dan kasur. Jadi, bangkitlah wahai ‘perempuan’. Ukirlah sejarahmu,” seru Luli di momen refleksi Hari Kartini, Selasa (21/4).

Menurut Luli, dirinya merasa terpanggil untuk mendorong kaum hawa agar berlomba-lomba masuk dalam arena politik, tak lain, demi mengejar ketertinggalan itu sendiri. Luli menyebut, kaum perempuan saat ini tertinggal jauh jika dibandingkan dengan kaum pria dalam gelanggang politik.

“Mengapa itu bisa terjadi, jawabannya sudah pasti, ini semua adalah imbas dari stereotip dan konstruksi budaya masyarakat yang menilai perempuan tidak pantas untuk terlibat di dalam kontestasi politik,” papar Luli.

Padahal, menurut Luli, secara potensi dan kualitas, antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang berbeda. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan sama-sama merupakan makhluk terbaik Tuhan dengan segala potensi yang dimilikinya.

“Jadi, kita harus menyingkirkan mitos yang selama ini berkembang di masyarakat. Seolah dunia politik itu sesuatu yang tabu dan hanya pantas untuk para laki-laki. Padahal, faktanya tidak juga demikian. Semua itu kembali pada diri masing-masing. Tidak hanya dalam politik, dalam konteks apapun, jika manusianya sendiri tidak jujur dan bersih, maka semuanya pasti rusak. Dan ini tidak ada kaitannya dengan persoalan gender,” pungkasnya.

Luli mengakui, sampai saat ini menghancurkan mitos yang berkembang di masyarakat masih cukup sulit. Hal itu dikarenakan proses rekognisi dan reproduksi budaya yang berlangsung sekian lama tentang sosok perempuan. Perempuan, kata dia, terlanjur dianggap lemah dan serba di bawah laki-laki.

“Jadi, perempuan sejak awal sudah terlanjur diposisikan satu tingkat di bawah laki-laki. Dan itu terus mengalami rekognisi dan reproduksi melalui sistem sosial yang ada di masyarakat. Mitos ini bahkan sampai sekarang masih sulit dihancurkan, terutama bagi masyarakat yang masih menganut sistem sosial tertutup,” terang Luli.

Luli juga optimis bahwa persoalan yang kini dialami kaum perempuan itu masih bisa diatasi asalkan ada kemauan dan usaha keras. Selain itu, pendidikan juga menurut dia berperan besar dalam pembebasan kaum perempuan dalam kekangan tradisi.

“Saya tetap optimis bahwa kaum perempuan masih bisa keluar dari dogma budaya dan tradisi yang ada. Asalkan dari kaum perempuan sendiri muncul suatu keinginan dan usaha keras. Di sisi lain kita juga berharap agar peran lembaga pendidikan juga lambat tapi pasti bisa mengatasi persoalan ini,” cetus Luli.

Walau begitu, Luli tetap berharap agar kaum perempuan masih tetap tunduk pada kodratnya sebagai seorang wanita. Ini juga sekaligus menjaga agar ruang gerak emansipasi perempuan Indonesia tidak sampai terjebak pada gerakan feminisme radikal ataupun dengan berbagai variannya.

Sebab, emansipasi tidak berarti mengingkari kodrat. Singkatnya, emabsipasi memiliki konteks pada sosio-budaya yang selama ini disalahartikan oleh sebagian besar masyarakat. Sementara kodrat memiliki makna suatu ketetapan yang bersifat lahiriah dan susah dipertukarkan.

“Jadi usaha yang keras bagi kaum perempuan di sini harus dipahami dalam arti yang sesungguhnya. Dengan kata lain, tidak keluar dari kodratnya sebagai kaum perempuan. Yakni, sebagai seorang ibu dan puteri sesuai tuntutan agama,” ujar Luli.

Lebih lanjut, Luly mengatakan bahwa perempuan sendiri berakar dari kata ’empu’ yang mengandung arti ‘tuan’, orang yang mahir atau berkuasa atau juga diartikan sebagai kepala.

“Namun dalam konteks emansipasi ini, perempuan dipahami sebagai sosok yang mempunyai nilai tinggi dan sejajar dengan jenis kelamin lainnya. Sebab dalam agama pun manusia yang dilihat taqwanya bukan jenis kelaminnya,” pungkasnya lagi.

Tag
Berita
Divisi Hukum Data Dan Informasi
Divisi Organisasi dan SDM