Lompat ke isi utama

Berita

Technofeodalisme dan Demokrasi Elektoral: Tantangan Pengawasan Pemilu di Era Platform Digital

curren

Amazon, Google, Meta, atau TikTok salah satu "tuan tanah" atau kita anggap Raja saat ini. Karena mereka membangun domain mereka sendiri, lengkap dengan “pengabdi digital” yang tunduk tanpa menyadarinya. Lalu Bagaimana  tantangan Pengawasan Pemilu di Era Platform Digital?

Depok - Dalam sejarah demokrasi elektoral di Indonesia, pengawasan pemilu identik dengan kerja-kerja di lapangan: memastikan daftar pemilih akurat, mencegah praktik politik uang, memantau logistik pemilu, hingga mengawasi jalannya pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Namun, seiring perkembangan teknologi, arena pemilu tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Pertarungan politik kini berlangsung masif di ruang digital yang dikuasai segelintir perusahaan platform global.

Ekonom Yunani Yanis Varoufakis memperkenalkan istilah technofeodalisme untuk menggambarkan situasi di mana platform digital bertindak layaknya tuan tanah baru. Dalam analogi ini, warga atau pengguna internet menjadi “penyewa” tanpa kuasa, bergantung sepenuhnya pada aturan, algoritme, dan kebijakan platform. Mereka tidak memiliki kendali penuh atas lahan digital yang sehari-hari dipakai untuk berinteraksi, bekerja, maupun berpolitik. Analogi ini relevan untuk membaca dinamika demokrasi elektoral kita: pemilu semakin bergantung pada ekosistem digital yang tidak sepenuhnya berada dalam kedaulatan negara.

Jika dahulu pengawasan pemilu berhadapan dengan praktik politik uang, mobilisasi massa, atau keberpihakan aparatur negara, tantangan kini bertambah dengan munculnya digital capture. Wacana politik, perdebatan isu, hingga distribusi informasi pemilu banyak digerakkan oleh logika algoritme. Kandidat dapat menggelontorkan dana kampanye dalam bentuk iklan digital yang sulit dilacak transparansinya. Sementara itu, penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian kerap memengaruhi opini publik tanpa batas ruang dan waktu. Dalam konteks inilah, demokrasi elektoral Indonesia berhadapan dengan “tuan tanah digital” yang menentukan arah percakapan politik.

Bagi lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu, tantangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana menjamin pemilu tetap adil dan setara ketika sebagian besar arena politik berlangsung di lahan digital yang tidak sepenuhnya dapat diawasi? Hukum nasional memiliki keterbatasan ketika berhadapan dengan platform global. Regulasi pemilu belum sepenuhnya mengantisipasi pola kampanye berbasis algoritme atau konten berbayar lintas negara. Di sisi lain, akses data bagi lembaga pengawas juga amat terbatas, sehingga sulit untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak sederhana. Pertama, Bawaslu perlu memperkuat kerja sama lintas lembaga, baik dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), maupun lembaga internasional. Tekanan kolektif kepada platform global penting untuk mendorong transparansi, khususnya dalam hal iklan politik, penyebaran konten, serta akses data. Kedua, pengawasan partisipatif harus diperluas ke ruang digital. Masyarakat sipil, media, akademisi, dan komunitas pegiat literasi digital dapat menjadi mitra penting dalam melaporkan temuan pelanggaran, mengklarifikasi hoaks, dan mengawasi praktik politik uang digital.

Ketiga, perlu ada penguatan regulasi pemilu yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Aturan mengenai dana kampanye, iklan politik, serta penggunaan data pribadi harus diperbarui agar relevan dengan konteks digital. Tanpa kerangka hukum yang memadai, upaya pengawasan akan selalu tertinggal dari inovasi praktik kampanye politik digital.

Pada akhirnya, demokrasi elektoral yang sehat menuntut level playing field bagi semua peserta pemilu. Jika lahan politik kini banyak berpindah ke platform privat global, maka kedaulatan demokrasi harus diperjuangkan bukan hanya di bilik suara, tetapi juga di ruang digital. Narasi technofeodalisme mengingatkan kita bahwa ancaman terhadap demokrasi tidak hanya datang dari elite politik lokal, melainkan juga dari “tuan tanah digital” yang menguasai algoritme dan data miliaran warga.

Bagi Bawaslu, pengawasan pemilu di era digital bukan sekadar soal menegakkan aturan, tetapi juga memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak kehilangan kedaulatannya di tengah dominasi segelintir raksasa teknologi global. Tantangan ini memerlukan inovasi, kolaborasi, dan keberanian untuk mengawasi pemilu di lahan yang semakin kompleks: lahan digital.

Penulis : M. Yudha Aldino

Foto : Current Affair

Editor : Azis Nur Fadillah

Tag
Technofeodalisme