Lompat ke isi utama

Berita

Bawaslu Kota Depok Gelar RDK Isu-Isu Krusial Jelang Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024

Depok (3/12/21), Badan Pengawas Pemilu Kota Depok – Dalam rangka penguatan kapasitas internal, Bawaslu Kota Depok menyelenggarakan Rapat Dalam Kantor (RDK) mengenai “Isu-Isu Krusial Jelang Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024”. RDK ini menghadirkan Yulianto, S.H selaku Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Barat sebagai narasumber dan Willi Sumarlin, S.H selaku Koordinator Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Depok yang menjadi pengantar diskusi. Hadir dalam kegiatan, pimpinan Bawaslu Kota Depok beserta seluruh jajaran staf sekretariat.

Menurut Willi Sumarlin, saat membuka rapat tersebut, kegiatan RDK ini bertujuan untuk memperkuat pengetahuan dan kapasitas bagi seluruh jajaran Bawaslu Kota Depok mengenai isu-isu krusial yang akan muncul mulai dari pra tahapan, saat tahapan hingga pasca tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak mendatang. Tentunya jelang Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, isu-isu krusial serta problematika hadir dan mungkin akan menyentuh ranah penegakkan hukum. Seluruh jajaran Bawaslu Kota Depok dituntut untuk mampu menjalankan prinsip tata kelola penyelenggara pemilu yang baik sesuai amanat Undang-Undang.

Pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 mendatang tentu tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2019 sesuai UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Begitu pula dengan Pilkada sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016. Hanya saja ada kompleksitas seperti irisan antara pemilu dan pemilihan. Irisan ini dapat terlihat dari ruang lingkup pemilu secara nasional dan pemilihan secara regional. Sehingga pemutakhiran data pemilih harus diawasi secara extra.

Isu-isu krusial lainnya yang berkaitan dengan hukum misalnya, adalah desain sistem penegakan hukum pemilu dan pilkada yang sistemnya masih sangat rumit, berlapis, dan saling mengunci, sehingga sering menghasilkan bottleneck. Kerap penegak hukum berhenti, namun yang disalahkan hanyalah Bawaslu.

Selain itu, isu krusial kewenangan seperti batas waktu penanganan pelanggaran pemilu yang 7 plus 7 hari kerja.Sementara untuk pilkada hanya 3 plus 2 hari kalender. Sehingga disparitasnya jauh. Begitupun soal hukum acara dan persidangan. Dalam pemilu, ada aturan soal objek dugaan pelanggaran administrasi TSM, sementara di turan pilkada itu hanya terkait perilaku seperti politik uang.

Instrumen hukum regulasi pemilu perlu diantisipasi, misalnya pasal yang belum menjadikan norma bencana non-alam (pandemi) sebagai faktor penundaan tahapan. Norma aturan yang membuka ruang modifikasi metode pelaksanaan tahapan tertentu, penggunaan jaringan teknologi, media sosial dan elektronik pada tahapan misalnya kampanye, verifikasi faktual peserta atau pasangan calon, pendataan Pemilih dan lain sebagainya. Desain surat suara yang selain efektif dan efisien juga harus menjamin kemudahan akses surat suara bagi Pemilih terutama yang pindah memilih antar-dapil dan antar-Provinsi dan sebagainya untuk menghindari suara tidak sah.

Tag
Berita
Divisi Penindakan