Ancaman Technofeodalisme di Era Demokrasi Digital, Tantangan Baru dalam Pengawasan Digital Pemilu
|
Depok - Kejadian di Nepal baru-baru ini dan kisah di Indonesia pada akhir Agustus menunjukkan bagaimana anomali demokrasi bisa muncul di tengah perkembangan teknologi digital. Menyikapi fenomena tersebut, Bawaslu Kota Depok menggelar Pojok Pengawasan berupa diskusi yang bertajuk “Technofeodalisme dan Demokrasi Elektoral” secara hybrid di kantor sekretariat Bawaslu Depok dan Zoom Meeting, Selasa (09/09/2025).
Dalam diskusi ini, Yanis Varoufakis—ekonom sekaligus mantan Menteri Ekonomi Yunani—dalam bukunya “Technofeudalism: What Killed Capitalism” menegaskan bahwa kapitalisme klasik telah “mati” dan digantikan oleh sistem baru bernama technofeodalisme.
Topik tersebut dibedah oleh Pemimpin Redaksi Scholarium LP3ES, Ilham Afdhol, yang memaparkan berbagai dimensi technofeodalisme. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar hubungan antara individu dengan platform digital, melainkan telah menjadi arena baru politik global maupun domestik, di mana kekuasaan bergeser ke level platform, infrastruktur digital, dan supremasi teknologi. Misalnya, perusahaan seperti Google atau Meta kini lebih menentukan arus informasi publik dibanding media massa tradisional.
Ilham juga menguraikan bahwa technofeodalisme melahirkan kelas penguasa algoritmik yang tidak bisa dipilih, digugat, maupun dilawan dengan instrumen politik tradisional. Contohnya, pengguna Instagram tidak pernah bisa menolak siapa yang mengatur algoritma feed mereka, meski keputusan tersebut berpengaruh besar terhadap opini publik.
Lebih jauh, algoritma media sosial terbukti sering memicu konten ekstrem yang memperdalam perpecahan politik. Situasi ini terlihat jelas saat perdebatan Pemilu di Twitter/X yang terbelah menjadi dua kubu besar karena algoritma memperkuat bias masing-masing pihak.
Selain itu, akses politik kini ditentukan oleh kemampuan membeli iklan digital. Kandidat dengan modal besar dapat membombardir Facebook atau YouTube dengan iklan politik, sementara kandidat bermodal kecil kesulitan menjangkau pemilih. Ketidaksetaraan politik ini semakin diperparah dengan maraknya disinformasi, di mana hoaks lebih cepat viral dibanding klarifikasi resmi. Misalnya, isu SARA dalam Pemilu lebih cepat menyebar melalui WhatsApp ketimbang bantahan dari KPU atau Bawaslu.
Yang tak kalah serius, technofeodalisme juga mengancam kedaulatan negara karena data dan informasi warga dikuasai oleh korporasi digital raksasa. Data pribadi masyarakat Indonesia, misalnya, banyak tersimpan di server luar negeri milik Google, Meta, atau TikTok, yang rawan disalahgunakan dan sulit diawasi pemerintah.
Di akhir diskusi, pembicara menegaskan bahwa tantangan pengawasan pemilu di era digital semakin kompleks. Politik uang tetap mengakar baik secara konvensional maupun digital, disinformasi digital kian masif, dan informasi dikuasai oleh pasukan buzzer, sementara rakyat hanya menjadi objek algoritma. Karena itu, penguatan demokrasi substantif yang menekankan keadilan pemilu menjadi kunci, bukan sekadar demokrasi prosedural.
Selain memetakan masalah, diskusi ini juga menyoroti solusi yang bisa dilakukan:
Dari sisi individu, masyarakat diajak untuk lebih kritis dalam menggunakan media sosial, memeriksa ulang kebenaran informasi, tidak mudah terpancing konten provokatif, serta mendukung platform alternatif yang lebih adil.
Dari sisi pemerintah, diperlukan kebijakan yang melindungi data warga, regulasi yang lebih kuat untuk mengawasi iklan politik digital, hingga kerja sama internasional agar korporasi raksasa digital tidak semena-mena menguasai ruang publik.
Ketua Bawaslu Kota Depok, M. Fathul Arif menekankan pentingnya peran kelembagaan Bawaslu dalam menjaga iklim demokrasi tetap sehat dan kondusif di tengah gempuran technofeodalisme. Ia juga berharap kapabilitas pengawas pemilu terus ditingkatkan agar mampu merespons perkembangan politik digital.
Selain itu, Ketua Bawaslu Jawa Barat, Zacky Muhammad Zam-zam, turut memberi masukan terkait perlunya regulasi yang lebih kuat dalam pengawasan konten digital. Menurutnya, aturan yang ada saat ini masih terbatas, misalnya hanya mengatur pengawasan pada akun-akun tertentu, padahal realitas politik digital jauh lebih kompleks. Ia mengapresiasi inisiatif Bawaslu Kota Depok yang berani mengangkat tema baru dan relevan ini sebagai bagian dari penguatan pengawasan demokrasi ke depan.
Penulis : M. Fathul Arif dan M. Yudha Aldino
Editor : Azis Nur Fadillah dan M. Fathul Arif
Foto : M. Yudha Aldino