5 Gaya Politik Nabi Muhammad SAW yang Layak Diteladani Umat Manusia
|
Politik adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat, bernegara, bahkan beragama. Sejak awal dakwah Islam, Nabi Muhammad SAW juga menjalankan aktivitas politik, terutama setelah hijrah ke Madinah. Politik yang beliau jalankan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi kemaslahatan umat.
Salah satu produk politik monumental Nabi adalah lahirnya Piagam Madinah pasca hijrah tahun 622 M. Di Madinah, beliau juga membangun masjid yang difungsikan bukan hanya sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai tempat menerima delegasi non-Muslim. Contoh lain praktik politik Nabi adalah Perjanjian Hudaibiyah dan gencatan senjata dengan kaum musyrikin.
Di tengah perkembangan politik saat ini, kebiasaan Nabi Muhammad SAW dalam berpolitik bisa dijadikan rujukan untuk menghadirkan iklim yang sehat dan berintegritas. Meski tindakan politik beliau bukanlah syariat yang wajib diikuti (sunnah tasyri’iyyah), nilai-nilai luhur yang beliau tunjukkan tetap relevan untuk diteladani.
Pertama, mengedepankan musyawarah
Nabi Muhammad SAW selalu merumuskan keputusan penting melalui musyawarah. Contohnya saat Perang Uhud, beliau menerima pendapat mayoritas sahabat untuk keluar menghadapi musuh, meskipun berbeda dengan pandangan pribadinya. Musyawarah juga dilakukan dalam Perang Khandaq dan peristiwa Hudaibiyah.
Kedua, mendahulukan kepentingan umat
Nabi sering menomorsatukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Misalnya, beliau menunda renovasi Ka’bah karena khawatir menimbulkan perpecahan di tengah umat yang masih baru memeluk Islam. Renovasi akhirnya dilakukan di masa Abdullah bin Zubair. Contoh lain adalah sikap beliau terhadap Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik. Meski banyak yang mengusulkan hukuman berat, Nabi menolak demi menghindari konflik yang lebih besar di tengah umat.
Ketiga, menolak gratifikasi dan imbalan
Kaum musyrikin pernah menawarkan kekuasaan, harta, dan kenikmatan duniawi agar Nabi menghentikan dakwah. Namun beliau menolak dengan tegas, sebagaimana ungkapannya dalam sirah Ibnu Hisyam: “Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan misiku, pasti aku menolaknya.”
Keempat, menepati perjanjian dan menghindari pengkhianatan
Dalam berpolitik, Nabi tidak pernah mengkhianati perjanjian, bahkan terhadap lawan. Jika ada tanda-tanda pengkhianatan, beliau tidak serta-merta menyerang sebelum ada bukti nyata. Prinsip ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 58 yang memerintahkan agar perjanjian dikembalikan dengan cara yang jujur.
Kelima, menegakkan keadilan untuk semua
Keadilan Nabi Muhammad SAW tidak terbatas pada umat Islam saja. Pernah suatu ketika seorang Nasrani datang mengadu karena hartanya dirampas Abu Jahal. Nabi segera mendatangi Abu Jahal dan meminta agar harta tersebut dikembalikan. Abu Jahal pun menuruti permintaan Nabi.
Praktik politik Nabi Muhammad SAW menunjukkan prinsip-prinsip universal: musyawarah, kemaslahatan, menolak gratifikasi, setia pada perjanjian, dan keadilan untuk semua. Semua nilai ini sejalan dengan prinsip demokrasi modern dan relevan untuk diteladani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sumber: Amien Nurhakim / NU Online
Penulis : M. Yudha Aldino
Gambar : NU Online
Editor : Azis Nur Fadillah